Kerja di Luar Negeri Dilarang, Tapi Solusi Nggak Dikasih: Rakyat Butuh Uang untuk Menyingsing Hari Esok

 



Pemerintah ngelarang, tapi nggak ngasih jalan keluar. Rakyat tetap butuh makan, bro.


Awal Mula Drama: Larangan Kerja di Luar Negeri

Belakangan ini makin rame aja kabar soal pemerintah Indonesia yang ngelarang warga negaranya buat kerja di negara-negara kayak Kamboja, Thailand, Filipina, dan sejenisnya. Alasan utamanya sih karena banyak kasus penipuan, human trafficking, sampe kerja paksa yang dibungkus lowongan kerja palsu.

Yah, niatnya sih bagus. Nggak ada yang mau liat sesama WNI jadi korban kerjaan abal-abal di luar negeri. Tapi masalahnya, pelarangan ini malah kayak setengah-setengah. Dilarang ke sana-sini, tapi nggak disediain alternatif kerja yang layak. Rakyat bingung. Mau kerja apa kalau di dalam negeri lapangan kerja makin sempit dan syarat-syaratnya bikin pusing?


Realita di Lapangan: Pengangguran, Persaingan, dan Harapan yang Kian Tipis

Coba deh lihat faktanya. Banyak banget anak muda yang udah lulus kuliah, IPK bagus, skill lumayan, tapi tetep susah dapet kerja. Yang lowongan kerjanya ada, gajinya di bawah UMR. Yang gajinya lumayan, syaratnya minta pengalaman 3 tahun padahal fresh graduate. Udah kayak lingkaran setan aja.

Sementara itu, kebutuhan hidup terus naik. Harga sembako naik, harga sewa naik, semua naik. Nggak kerja? Bisa-bisa nggak makan. Jadi wajar aja banyak yang akhirnya ambil jalan pintas: kerja sebagai admin judi online alias judol.


Kenapa Banyak yang Milih Jadi Admin Judol?

Sekarang coba bayangin: ada tawaran kerja, gaji 7-10 juta per bulan, bisa tinggal di apartemen, makan ditanggung, kerja di balik layar (nggak jualan, nggak door-to-door). Tapi syaratnya: kerja buat situs judol.

Buat orang yang udah putus asa cari kerja halal tapi nggak kunjung dapet, ya tawaran beginian jelas menggiurkan. Apalagi kalau dibandingin sama kerja di pabrik yang gajinya 3 juta sebulan, kerja 12 jam, libur cuma seminggu sekali. Pilih mana, bro?

Dan di negara kayak Kamboja, Filipina, dan Thailand, aktivitas judi online emang banyak yang legal. Jadi dari sudut pandang mereka yang kerja di sana, mereka nggak ngerasa ngelanggar hukum. Mereka cuma kerja bantu operasional situs, bukan yang main judinya.


Pemerintah Sibuk Larang, Tapi Lupa Ngasih Solusi

Yang bikin miris adalah: pemerintah getol banget ngelarang dan ngasih ancaman hukum buat siapa aja yang terlibat di dunia perjudian online, termasuk adminnya. Tapi sampai sekarang, nggak kelihatan solusi konkret buat orang-orang yang butuh kerja.

Misalnya:

  • Nggak ada program pelatihan kerja yang beneran jalan.

  • Nggak ada pembukaan lapangan kerja besar-besaran.

  • Bansos? Kadang nggak merata, kadang cuma cukup buat beli beras 3 hari.

  • UMKM? Susah berkembang kalau modal juga nggak dikasih.

Jadi rakyat harus ngapain? Duduk manis nunggu rezeki jatuh dari langit? Ya nggak bisa, bro. Mereka juga punya keluarga yang harus dikasih makan.


Bukan Karena Niat Jahat, Tapi Karena Kepepet

Sebenernya bukan berarti semua orang yang kerja di dunia judol itu doyan cari duit haram. Banyak dari mereka yang awalnya juga mikir-mikir, ngerasa nggak nyaman, bahkan sempet nolak.

Tapi makin ke sini, keadaan ekonomi bikin pilihan makin sempit. Dan kalau pilihan antara "kerja di judol" atau "nggak bisa makan", banyak yang akhirnya nekat ambil yang pertama.

Toh, mereka nggak ngerugiin siapa-siapa secara langsung. Cuma duduk di depan komputer, ngebalas chat, bantu posting konten, atau jadi bagian dari tim IT. Ada juga yang bagian marketing. Bahkan ada yang cuma jadi CS (customer service) doang. Tapi ya tetep aja cap "kerja di dunia Hitam" udah terlanjur nempel.


Negara Lain Legalin Judi, Indonesia Masih Sibuk Mengutuk

Satu hal yang sering jadi bahan perdebatan: di luar negeri, judi itu bukan hal yang tabu. Bahkan di banyak negara, judi itu sumber pemasukan negara yang legal dan gede banget.

Contoh:

  • Makau: dijuluki Las Vegas-nya Asia. Judi jadi salah satu penggerak utama ekonomi.

  • Filipina: banyak perusahaan judi online punya izin resmi dari pemerintah.

  • Thailand: makin terbuka sama legalisasi judi buat narik wisatawan.

  • Kamboja: punya zona-zona khusus buat bisnis judi internasional.

Sementara itu, di Indonesia? Semua yang berbau judi langsung dianggap kriminal. Padahal belum tentu semua orang yang kerja di balik layar itu pelaku kejahatan. Banyak yang cuma jadi pekerja biasa yang butuh uang.


Solusi yang Realistis Itu Harusnya Ada

Daripada sibuk ngelarang tapi nggak kasih opsi, pemerintah mending mulai pikirin hal-hal kayak:

  • Pelatihan digital buat generasi muda biar bisa kerja remote di bidang lain, kayak desain grafis, coding, atau copywriting.

  • Buka akses modal buat UMKM yang pengen usaha tapi kekurangan dana.

  • Reformasi sistem ketenagakerjaan, biar syarat kerja nggak seberat sekarang.

  • Kerja sama internasional buat pastiin WNI kerja di luar negeri secara legal dan aman.

  • Pemberdayaan desa biar orang nggak harus merantau demi cari makan.

Selama itu belum ada, ya jangan heran kalau makin banyak anak muda yang milih kerja di jalur yang dianggap “gelap”.


Jadi, Siapa yang Salah?

Kalau dipikir-pikir, rakyat nggak salah-salah amat. Mereka cuma mau hidup. Mau bisa makan, bisa bayar kontrakan, bisa kasih uang jajan buat anak. Tapi sistem yang ada sekarang sering kali bikin hidup makin berat.

Nggak semua orang punya privilege buat pilih-pilih kerja. Kadang realita jauh lebih keras dari idealisme. Dan selama negara belum bener-bener hadir ngasih solusi nyata, rakyat akan terus cari jalan sendiri—entah itu lewat cara yang diterima sosial, atau yang dianggap menyimpang.


Penutup: Saatnya Dengerin Jeritan Rakyat

Larangan tanpa solusi cuma akan bikin rakyat makin nekat. Niat baik pemerintah buat lindungi warganya harus dibarengin sama kebijakan yang manusiawi dan realistis. Nggak cukup cuma ngelarang, tapi juga harus kasih jalan keluar.

Karena rakyat butuh makan, bukan ceramah. Rakyat butuh kerja, bukan aturan yang makin bikin stres.

Jadi, kalau pemerintah bener-bener peduli, udah saatnya fokus ke akar masalahnya: kenapa orang Indonesia sampai rela kerja di luar negeri di industri yang penuh risiko? Jawabannya pasti akan kembali ke satu hal: karena di dalam negeri, hidup makin susah.

Komentar